Tahun 2008 bisa dikatakan sebagai periode yang suram dunia. Betapa tidak, krisis keuangan di Amerika Serikat (AS) yang dipicu oleh krisis subprime mortgage (terjadi akibat macetnya kredit properti) pada medio 2006 tampaknya akan terus berlanjut. Celakanya, karena hubungan patronase yang sedemikian lekat antara pasar keuangan AS dan dunia, imbas negatif juga terjadi di negara-negara lain. Salah satu channel penularan adalah melalui harga saham. Kerugian bank-bank internasional akibat krisis subprime mortgage pada awalnya menimbulkan penurunan kurs Dollar AS terhadap mata uang Euro dan Yen. Jatuhnya valuasi saham di AS selanjutnya memicu penurunan harga saham di seluruh dunia karena investor khawatir pelemahan ekonomi AS akan berdampak pada pelambatan ekonomi dunia.

Spektrum dan dimensi krisis ekonomi pun telah secara agresif bergerak ke berbagai penjuru dan bidang-bidang kehidupan ekonomi, politik, sosial, budaya, dan militer masyarakat dunia. Krisis telah mengunci miliaran rakyat miskin di dunia dalam kesengsaraan, kekerasan dan perang, wabah penyakit, dan keterbelakangan budaya.
Gejolak politik akibat kenaikan harga telah terjadi di berbagai kawasan dunia. Di Haiti, gelombang protes warga akibat kenaikan harga kebutuhan pokok telah memaksa pemerintahan setempat untuk meletakkan jabatan. Gelombang protes massa pun membayangi kawasan-kawasan dunia lainnya. Di Zimbabwe, krisis harga yang bertemu dengan momentum krisis politik dalam pemilu setempat telah memicu aksi-aksi kekerasan terhadap oposisi. Sementara di Indonesia, kegelisahan yang tak berkesudahan akibat kenaikan harga pangan sudah mulai diaktualisasikan dalam aksi-aksi politik yang dilakukan oleh mahasiswa, buruh, dan kaum tani.

Pemerintah Indonesia dibawah kepemimpinan Presiden SBY-Kalla sesungguhnya berada dalam keadaan yang sangat sulit. Akibat krisis ini, beban utang pemerintah bertambah hingga Rp 97,74 triliun (Kompas, 15/4). Besarnya beban APBN dan tingginya utang mendorong Bank Dunia untuk mendesak agar Indonesia mencabut berbagai subsidi. Desakan tersebut disampaikan langsung oleh Country Director Bank Dunia untuk Indonesia, Joachim von Amsberg. Menurutnya, anggaran untuk menaikkan subsidi BBM di APBN 2008 yang naik hampir tiga kali lipat dari tahun lalu, hanya akan dirasakan manfaatnya oleh segelintir masyarakat dari kalangan mampu. Lebih lanjut, Joachim von Amsberg menjelaskan, “Seharusnya, anggaran tersebut dialihkan untuk pembangunan infrastruktur atau proyek-proyek yang menyerap banyak tenaga kerja, sehingga dapat menekan angka pengangguran dan kemiskinan”.


II. DAMPAK KRISIS GLOBAL

Dampak krisis keuangan AS menjalar ke Eropa dan Asia Pasifik dalam bentuk bangkrutnya bank/institusi keuangan/korporasi, meningkatnya inflasi, menurunnya pertumbuhan ekonomi, meningkatnya pengangguran, dan runtuhnya indeks bursa saham. Di Indonesia, krisis keuangan global terbukti memporakporandakan pasar modal dan valas. IHSG anjlok dari angka 2.830 menjadi 1.111, atau turun lebih dari 60%. Nilai kurs rupiah terhadap dolar AS terdepresiasi cukup dramatis dari Rp 9.076 hingga sempat hampir menembus Rp 13.000.

Krisis global berpengaruh besar dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia. Secara singkat, krisis global mempengaruhi penanaman modal asing di Indonesia. Banyak investor asing yangg mempermasalahkan krisis global dan mempertimbangkannya masak-masak sebelum mengambil keputusan untuk berinvestasi atau membeli saham di Indonesia. Dampak ke dua adalah dalm forex / pertukaran mata uang asing, yang secara otomatis berpengaruh pada impor / expor negara Indonesia.

Dampak krisis finansial global mulai merembes ke sektor riil di Tanah Air. Sejumlah sektor industri, di antaranya menjadi tumpuan ekspor, mulai merasakan kemerosotan kinerja akibat terpuruknya permintaan, dan bersiap-siap menyambut datangnya gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran.

Industri baja nasional, misalnya, kian terpuruk. Harga baja di pasar internasional dalam tiga bulan belakangan ini merosot hingga 36,5 persen, dari sebelumnya US$ 1.150 menjadi US$ 730 per ton. Belum lagi, persoalan lain yang harus dihadapi industri baja dalam negeri, seperti melemahnya daya beli masyarakat, pengetatan likuiditas perbankan, tingginya suku bunga kredit, serta ancaman penundaan sejumlah proyek infrastruktur yang belum juga terpecahkan.

Kondisi yang sama dihadapi industri tekstil. Ketua Asosiasi Pertekstilan (API) Daerah Jawa Barat. Sekitar 70.000 tenaga kerja terancam mengalami PHK mulai awal tahun 2009. Jabar, yang merupakan sentra industri tekstil di Tanah Air, memiliki lebih dari 700 pabrik tekstil yang menyerap sekitar 700.000 tenaga kerja. Dampak krisis ekonomi di AS sangat terasa, mengingat AS merupakan ekspor terbesar industri tekstil dan produk tekstil dari Jabar. Tahun 2007, total nilai ekspor tekstil Jabar mencapai US$ 4,72 miliar.

Dampak krisis finansial yang terasa di industri mebel. Sebanyak 80 persen ekspor mebel dari lima perusahaan anggota Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia (Asmindo) ke pasar AS terpaksa dibatalkan. Total kerugian yang diderita diperkirakan sekitar US$ 6,25 juta-US$ 7,5 juta.


III. DAMPAK KRISIS GLOBAL TERHADAP DUNIA PERTANIAN INDONESIA

Berbagai media lokal maupun internasional secara terus menerus melaporkan dampak krisis dan kelangkaan pangan di dunia yang indikasinya telah terlihat sejak awal tahun ini. Sampai dengan akhir Maret 2008, sebagaimana dilaporkan FAO, telah terjadi krisis pangan yang sangat serius di 36 negara dan 21 negara diataranya merupakan negara di benua Afrika yang merasakan dampak paling serius bahkan menyebabkan terjadinya kelaparan kronis dan beberapa kasus kematian.

Pengaruh krisis global yang terjadi di Indonesia saat ini tidak hanya menghantui kehidupan ekonomi rakyat Indonesia, Secara kongkrit krisis global juga menyeret semua kalangan untuk siap menangung dampaknya yakni kemiskinal massal, PHK Massal, dan Masalah sosial yang pasti timbul. Krisis global itu juga menyerang petani, khususnya para petani produksinya berorientasi pada pasar eksport. Merekalah justrus salah satu korban pertama yang merasakan dampak krisis global, akibat lesunya daya beli pasar internasional. Sehingga nasib petani khususnya para buruh tani semakin jelas kemana arahnya, tidak lain yakni PHK.

Dalam Perkembangan Krisis Global saat ini tidak ada satupun Industri yang ada di Indonesia cukup kuat pondasinya untuk mempertahankan kelangsungan produksinya, tanpa terkecuali industri pupuk dalam negeri. Karena Semua Industri Indonesia khususnya yang berbasiskan bahan baku kimia itu di dapatkan dari import, artinya kandungan lokalnya (Bahan Baku Lokal) tidak lebih dari 20%-30% yang dihasilkan oleh Indonesia untuk suplai industri dalam negeri. Di Sisi yang lain, transaksi dalam Perdangangan Internasional alat tukarnya masih mengunakan Dollar AS. Sementara itu nilai tukar dollar AS di dalam negeri sepanjang bulan desember 2008 berada pada kisaran 11000-11700/USD.

Terhadap kenaikan harga global, harga pangan di Indonesia cenderung lebih stabil kecuali untuk minyak goreng dan kedelai. Bila Indonesia impor, maka ancaman di depan mata adalah kenaikan harga beras akibat kenaikan harga global 133% dalam periode januari-mei 2008 (FAO: Food Outlook, Mei 2008).

Akibat atas krisis dan kelangkaan pangan dunia juga semakin diperparah dengan tindakan beberapa negara produsen pangan utamanya padi yang membatasi bahkan menghentikan permintaan impor dari negara lain.


IV. ALTERNATIF SOLUSI ATASI KRISIS

Bila dikaji dari struktur permasalahannya, krisis pangan tidak hanya menjadi kenyataan dunia hari ini, melainkan juga menjadi akumulasi dari berbagai krisis yang terjadi dalam struktur perekonomian dunia saat ini. Pemerintah sudah mengeluarkan beberapa kebijakan yang berkaitan dengan antisipasi krisis keuangan global tersebut, seperti arahan Presiden dalam rapat kabinet berupa 8 (delapan) Grand Strategy pembangunan ke depan yaitu :

1. Menggunakan dan meningkatkan sumber-sumber pembiayaan dalam negeri, agar tidak senantiasa terhantui oleh bahaya arus modal ke luar negeri (capital out flow).
2. Meningkatkan tabungan (saving) dalam negeri sebagai sumber investasi domestik.
3. Memperkuat perekonomian domestik, termasuk pasar dalam negeri, agar pertumbuhan perekonomian (growth) tidak hanya mengandalkan ekspor, yang setiap saat bisa terancam manakala ekonomi dunia mengalami resesi.
4. Meningkatkan daya beli masyarakat, demikian juga spending pemerintah dan swasta, agar pasar domestik makin tumbuh dengan baik.
5. Menggalakkan penggunaan produk dalam negeri (barang dan jasa), agar neraca pembayaran kita aman (tidak defisit) dan devisa kita tidak terkuras.
6. Meningkatkan ketahanan dan kecukupan kebutuhan rakyat, terutama pangan, agar ketika dunia mengalami krisis ekonomi, kebutuhan rakyat tetap dapat dipenuhi.
7. Memajukan ekonomi daerah di seluruh provinsi, kabupaten dan kota agar semua daerah dapat menjadi sumber, kekuatan dan sabuk pengaman perekonomian nasional.
8. Mengelola dan mendayagunakan sumber daya alam, terutama minyak, gas, batubara dan minyak kelapa sawit, agar benar-benar dapat meningkatkan penerimaan negara, dan untuk sebesar besarnya kemakmuran rakyat.

Rektor IPB Herry Suhardiyanto mengatakan, upaya peningkatan kemandirian pangan dan energi semakin berat dengan adanya krisis keuangan di Amerika Serikat yang menjalar menjadi krisis global. "Krisis finansial yang semula diduga tidak terlalu kuat kaitannya dengan sektor riil, ternyata memiliki dampak yang cukup besar bagi sektor riil, khususnya pertanian yang berorientasi ekspor," katanya.

IPB merekomendasikan 5 hal yang sebaiknya dilakukan pemerintah.
Pertama, Merealisasikan resources based economy melalui integrasi bisnis hulu-hilir. Kedua, Membangun sistem keuangan berkeadilan dengan pola bagi hasil. Ketiga, mengalokasikan dana dan program pembangunan yang fokus pada komoditi unggulan dan berpihak pada rakyat. Keempat, Membangun ketahanan pangan dengan memanfaatkan sumber daya lokal dan strategi subsitusi impor. Kelima, Mendorong pemerintah daerah untuk aktif mendukung perkembangan sektor riil, baik UMKM dan usaha pertanian dalam arti luas.

Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada (KAGAMA) merekomendasikan beberapa langkah untuk mengatasi krisisi gobal yang kini melanda bangsa Indonesia. Pertama, melakukan penyesuaian APBN 2009 dengan prioritas untuk pembangunan infrastruktur dalam bentuk program padat karya disamping melakukan penataan bagi sektor informal di kota-kota dengan kebijakan anti penggusuran. Kedua, Di bidang pertanian, diambil langkah untuk mengarahkan petani miskin dan penganggur untuk mendapatkan lahan produktif sebagai modal untuk meningkatkan taraf hidup serta membatalkan rencana pemberlakuan pajak terhadap produk-produk pertanian. Ketiga, di bidang ekonomi makro, mendesak diturunkan suku bunga dan melonggarkan likuiditas untuk menggerakkan sektor riil serta memberikan insentif pajak bagi industri yang mempunyai basis penyerapan tenaga kerja yang besar. Keempat, diperlukan kebijakan untuk meningkatkan pemanfaatan tenaga-tenaga sarjana yang terkena imbas PHK sebagai tenaga pendampingan di sektor pertanian, kesehatan dan kependudukan. Kelima, melakukan reorientasi kebijakan-kebijakan pembangunan yang mendorong ke arah kemandirian bangsa.


V. PENUTUP

Dampak kelangkaan pangan yang sangat serius dalam skala global sebenarnya marupakan salah satu pelajaran berharga atas berbagai kebijakan di berbagai negara yang pada beberapa dekade terakhir cenderung meminggirkan prioritas pembangunan pertanian.

Momentum krisis pangan ini bisa dimaknai dari sisi positif dan negatif yaitu sebagai ancaman dan sekaligus peluang bagi kebangkitan pertanian nasional. Indonesia sebagai negara yang masih memproklamirkan diri sebagai negara agraris harus mengambil kebijakan yang tegas dan komprehensif terkait dengan kebangkitan pertanian. Fakultas pertanian UMY


Dibandingkan dengan negara-negara lain, Fakultas Pertanian UMY Indonesia terkesan relatif lebih adem-ayem merespons krisis pangan global dan kondisi darurat pangan yang membuat panik seluruh dunia saat ini. Padahal, hingga beberapa hari lalu, Organisasi Pangan dan Pertanian masih memasukkan negara ini ke dalam daftar 37 negara yang mengalami krisis pangan kendati sifatnya sangat lokal. Krisis pangan yang mengancam Indonesia itu dikaitkan dengan fenomena banjir yang melanda sebagian wilayah Indonesia saat itu, termasuk di sentra-sentra produksi pangan. Bagaimana sebenarnya posisi Indonesia di tengah krisis pangan global dan prospek ke depan?Dalam daftar terakhir Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), Indonesia memang tak lagi masuk daftar negara yang mengalami krisis pangan (list of countries in crisis).

Ini mungkin terkait dengan laporan pemerintah yang menyatakan Indonesia akan mengalami surplus beras tahun ini. Apalagi sempat muncul wacana bahwa Indonesia ekspor beras.Berdasarkan angka ramalan I Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2008, produksi gabah kering giling (GKG) tahun ini diperkirakan mencapai 58,26 juta ton. Jika dikurangi dengan kebutuhan untuk benih, pakan ternak, penyusutan, dan lain-lain, beras yang tersedia di dalam negeri masih sekitar 33 juta ton.

Jumlah ini di luar sisa stok akhir tahun yang ada di Bulog dan di masyarakat. Untuk beras, pengalaman swasembada tahun 1984 menunjukkan secara teknis swasembada bisa dicapai. Dari aspek sumber daya lahan, di atas kertas, berdasarkan data Departemen Pertanian, masih sangat besar peluang untuk dilakukan pembukaan lahan pertanian, antara lain lewat pemanfaatan lahan telantar yang ada.Dari luas daratan Indonesia sekitar 190 juta hektar, sekitar 101 juta juta hektar, menurut Deptan, bisa dikembangkan untuk pertanian tanpa mengganggu keseimbangan ekologis. Dari luasan tersebut, baru sekitar 64/69,15 juta yang sudah dimanfaatkan menjadi lahan pertanian.Dari jumlah ini pun, lahan sawah hanya 7,7 juta hektar, sisanya tegalan 10,6 juta hektar, perkebunan (rakyat dan swasta) 19,6 juta hektar, kayu-kayuan 9,4 juta hektar, dan 12,4 juta hektar masih berupa semak belukar atau alang-alang.

Persoalannya, bukan hal mudah menyulap lahan-lahan telantar yang tersebar di sejumlah provinsi tersebut menjadi lahan pertanian. Bukan hanya status lahan yang tak jelas, tetapi secara ekonomis tak sebanding dengan biaya yang dikeluarkan. Padahal, dengan kondisi lahan pertanian yang sebagian besar mengalami penurunan kesuburan, ekstensifikasi menjadi kunci untuk peningkatan produksi.

Stagnasi teknologi budidaya membuat hampir tidak ada peningkatan produktivitas secara signifikan yang dicapai dalam satu dekade terakhir. Catatan Deptan, tahun 1996 hasil padi rata-rata 4,45 ton per hektar, pada tahun 2005 menjadi 4,54 ton per hektar atau hanya meningkat 0,25 persen per tahun, bahkan jauh lebih rendah pada kondisi anomali cuaca.Minimnya teknologi pascapanen juga membuat upaya menekan angka kehilangan panen yang sekitar 20 persen (Maksum, 2002) tak jalan di lapangan.Belum lagi faktor lain, seperti alih fungsi lahan pertanian yang mencapai 120.000 hektar per tahun.

Tak sedikit lahan yang dikonversi ini adalah lahan irigasi subur yang sangat produktif..Fenomena eforia para pelaku usaha besar yang beramai-ramai terjun ke pertanian, termasuk pertanian pangan, menunjukkan sektor pertanian, termasuk pertanian pangan, sebenarnya sangat prospektif untuk dikembangkan.Bahkan, bukan tidak mungkin krisis pangan global serta lonjakan harga pangan dan komoditas di pasar dunia sekarang ini dijadikan momen kebangkitan bagi sektor pertanian Indonesia. Ini penting mengingat peran sektor pertanian yang sangat strategis dalam perekonomian.

Bukan hanya karena 44 persen penduduk secara langsung maupun tak langsung menggantungkan hidup di sektor ini.Akan tetapi, juga karena sektor pertanian berperan penting dalam mengatasi kemiskinan di pedesaan, penyedia pangan dan bahan baku industri, penyedia lapangan kerja, penghasil devisa, serta penopang penting stabilitas makroekonomi.

INDAHNYA ALAM SMESTA


Fakultas Pertanian UMY mempelajari alam smesta degan cara tidak merusaknya dan sekaligus mempelajari bagaimana cara merawat alam smesta.

 
Serenity Blogger Template